Dongeng Bidadari Bumi
Aku selalu teringat tentang sebuah dongeng akan keberadaan seorang bidadari bumi. Ya, dialah seorang bidadari namun bukan di sorga, nirwana ataupun istana para dewa yang berada di atas kumpulan awan atau diantara gugusan bintang andromeda.
Kecantikannya bukan hanya pada lengkung indah senyumnya yang mampu mengalahkan cerahnya warna bunga di kala sinar mentari pagi menerpa, atau pada dalamnya sorot matanya yang mampu menghanyutkan jiwasebagaimana derasnya ombak di pantai selatan Jawa. Dia adalah bidadariseutuh-utuhnya manusia yang hidup dan kakinya terinjak pada bumi, yang keberadaanya membuat manusia merasa tak lagi perlu ke sorga, nirwana ataupun istana para dewa. Mengapa harus kesana, jika di bumi yang meski tak ada habisnya bergejolak oleh kefanaan manusia, aku dapat meraba wujud bidadari yang mampu melepaskan segala penat terkutuk yang menjadi sahabat akrab manusia.
Kekuasaanya akan hati para pria bukan oleh paras wajahnya, namun pada luas dan tajamnya paradigma yang ada dalam pikirannya. Kadang aku bertanya, bagaimana mungkin dibalik halusnya rambut hitam lembut mengkilap itu, tersimpan begitu luas cakrawala pemahaman yang tidak sama dengan berjuta-juta wanita diluar sana. Ya, diluar sana, para wanita ada yang sibuk mengurusi bentuk rambutnya ataupun warna bibirnya, namun tetap saja tidak merdeka dalam berpikir dan tidak adil dalam berkata. Atau pula, yang hanya sibuk bekerja dan bekerja untuk meraih kegelimangan harta agar ia dapat puas menikmatinya, seakan-akan menjadi naik harkat martabatnya oleh tumpukan uang, ataupun tambahan gelar demi gelar dibelakang namanya.
Atau yang lebih menyedihkan lagi, ada saja wanita yang meski jaman sudah berganti masih merasa terlahir sebagai mahluk yang harus berada dibawah laki-laki yang entah karena dipaksa atau kemauan sendiri, kini menjadi apa yang orang sebut suami. Sedang yang lain, sibuk akan ritual-ritual penyembahan, entah kepada sosok manusia suci atau pada Pencipta semesta ini, sebagai pemuas hati seakan-akan lupa dirinya masih berada di bumi.
Hah, entahlah dengan para wanita-wanita lain diluar sana, apakah karena memang mereka hanya manusia biasa? Atau itu semua karena manusia-manusia yang sudah ada sebelum nenek dari kakeknya nenek ayahku dilahirkan, memang sudah salah sebelumnya mengkonsepkan sosok wanita. Yah,sepertinya memang karena mereka hanya manusia biasa, tak seperti sang bidadari bumi yang memang lahir dari rahim dewa Ra dan dirawat baik oleh Ganesha, Sang dewa yang kerap minum dari mangkuk pengetahuan tanpa pernah merasa kehilangan dahaga.
Bidadari ini dilahirkan dimasa depan, namun sudah dewasa sejak sekarang. Oleh karenanya pemikirannya jauh lepas meninggalkan kekangan-kekangan jaman yang usang. Jika ada sebutan yang lebih futuristik dari kata “modern”, maka kata itu harusnya bermakna sama dengan jauhnya pemikiran sang bidadari bumi, yang melintasi jaman-jaman batu menuju jauh pada jaman-jaman dimana telepati bukanlah lagi hal gaib ketika udara diisi gelombang-gelombang informasi oleh manusia. Dia adalah bidadari bumi yang bersayap bukan pada punggungnya, namun pada pikirannya yang mampu terbang lebih cepat dari waktu untuk tiba di masa depan.
Namun dia bukan hanya sekedar sang bidadari,yang indah dinikmati baik oleh panca indera tubuh maupun dengan diselami melalui hati. Dia juga adalah sang calon ibu dari anak-anak seorang pria yang aku harap itu aku. Dia adalah saudara kembar dari ibu terhebat di alam ini, ya siapa lagi kalau bukan Sang Bumi. Sang Bumi, si ibu dari begitu banyaknya mahluk di semesta ini, yang sudah berapa juta tahun merawat baik anak-anaknya,menghidupinya dengan suburnya tanahnya, merawatnya dengan teduhnya awan-awannya dan mendidiknya dengan tegasnya badai-badainya.
Ah, mungkin aku sudah gila jika hanya terus memikirkannya. Benar-benar kau bukan manusia, oh sang bidadari bumi. Bahkan hanya dengan dongenganmu saja, telah membuat aku menjadi susah bingung dan merana. Aku menjadi terus mencoba mencari-cari kekasih hati yang sedikit saja mampu seperti dirimu, oh tokoh dalam dongeng kesukaanku. Aku menjadi seperti pelaut-pelaut yang mengarungi bulatan bumi dalam hantaman ombak samudera, untuk sebuah cerita tentang peninggalan harta karun yang entah ada dimana. Benar-benar sialan dongeng yang menceritakanmu itu dan alangkah baiknya untuk aku segera menutup buku.
Aku akan datang padamu hai gadis-gadis cantik yang sedang memasang gincu dibibirnya, aku tak akan peduli akan kata-kata yang keluar daripada mulut indah merah merona itu, selama aku mampu mencumbuinya. Aku akan merebutmu gadis-gadis bermahkotakan rambut lembut hitam mengkilap, aku tak peduli akan pikiran yang ada didalamnya, entah itu hanya memikirkan tentang dirimu sendiri, atau hanya tentang indahnya pantulan wajahmu yang kau tatapi dibalik cermin. Selama jari-jemari ini masih bisa membelainya, ya peduli setan dengan itu semua. Dan nanti tepat di hari aku mati, aku akan mengakhiri penantianku, karena disitulah aku akan mulai pencarianku akan sosok bidadari, yang karena memang mustahil ada di dunia ini. Rohku akan melayang terbang mencarimu di sorga, nirwana dan istana para dewa diantara kumpulan awan dan gugusan bintang adromeda.
ArionBatara
Bandung,13 Agustus 2011
Sumber : http://arionbatara.webs.com